Cheongsamology

  • Home
  • Shop
  • Contact
  • Blog
  • No products in cart.
  • Home
  • Blog
  • Blog
  • Menelusuri Ciri Khas Sejarah Kimono Jepang

Menelusuri Ciri Khas Sejarah Kimono Jepang

by Cheongsamology / Sabtu, 02 Agustus 2025 / Published in Blog

Kimono, pakaian tradisional Jepang yang ikonik, lebih dari sekadar sehelai kain; ia adalah cerminan dari sejarah panjang, filosofi estetika, dan kekayaan budaya Negeri Matahari Terbit. Dari akarnya yang sederhana hingga menjadi simbol global keanggunan dan warisan, kimono telah mengalami evolusi yang menakjubkan, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman namun tetap mempertahankan esensi intinya. Setiap lipatan, pola, dan warna pada kimono menceritakan kisah yang dalam tentang nilai-nilai, seni, dan kehidupan masyarakat Jepang selama berabad-abad, menjadikannya sebuah mahakarya tekstil yang hidup dan bernapas.

1. Asal-usul dan Evolusi Awal Kimono

Sejarah kimono berakar jauh ke masa lalu, dipengaruhi oleh pakaian dari dinasti-dinasti awal Tiongkok, terutama Hanfu dari Dinasti Tang (618-907 M). Pada periode Nara (710-794 M), Jepang mengadopsi banyak aspek budaya Tiongkok, termasuk gaya berpakaian yang dikenal sebagai gofuku atau wufuku, yang merupakan jubah yang diikat di bagian depan. Namun, seiring berjalannya waktu, Jepang mulai mengembangkan gaya berpakaiannya sendiri yang unik.

Titik balik utama terjadi pada Periode Heian (794-1185 M). Selama periode ini, konsep kosode (harfiah: "lengan kecil") muncul. Awalnya, kosode adalah pakaian dalam yang dikenakan di bawah jubah berlapis-lapis yang rumit seperti jūnihitoe (dua belas lapis). Namun, karena pertimbangan kepraktisan dan iklim, kosode secara bertahap mulai dikenakan sebagai pakaian luar, terutama oleh rakyat jelata. Bentuk kosode ini, dengan lengan yang lebih pendek dan bukaan yang lebih besar, adalah cikal bakal langsung dari kimono modern. Perkembangan metode pewarnaan dan tenun yang lebih canggih pada periode ini juga memungkinkan desain yang lebih berani dan ekspresif.

2. Era Feodal dan Standardisasi Kimono

Selama periode Kamakura (1185-1333) dan Muromachi (1336-1573), ketika kelas samurai berkuasa, kosode semakin populer dan menjadi pakaian sehari-hari untuk semua lapisan masyarakat, dari bangsawan hingga petani. Bentuknya menjadi lebih sederhana dan fungsional, mencerminkan gaya hidup yang lebih pragmatis dari era militer ini.

Puncak perkembangan dan standardisasi kimono yang kita kenal sekarang terjadi pada Periode Edo (1603-1868), sering disebut sebagai "Zaman Keemasan Kimono". Dengan stabilitas politik yang dibawa oleh Keshogunan Tokugawa, seni dan budaya berkembang pesat. Kosode secara resmi berevolusi menjadi "kimono" (secara harfiah "sesuatu yang dipakai"). Desain dan konstruksinya menjadi sangat terstandardisasi: berbentuk T lurus, dijahit dari potongan-potongan kain persegi panjang, dan dikenakan dengan obi (ikat pinggang lebar).

Pada periode Edo, kimono menjadi simbol status sosial yang jelas. Pedagang kaya, meskipun berada di bawah samurai dalam hierarki, sering kali mengekspresikan kekayaan mereka melalui kimono yang sangat mewah dan mahal. Berbagai teknik pewarnaan seperti yūzen (pewarnaan tangan), shibori (ikatan dan celup), dan komon (pola berulang kecil) berkembang pesat, memungkinkan variasi desain yang tak terbatas. Pakaian wanita dan pria memiliki perbedaan yang jelas dalam gaya, warna, dan pola.

3. Modernisasi dan Transformasi Kimono

Restorasi Meiji pada tahun 1868 menandai titik balik penting dalam sejarah Jepang dan kimono. Dengan pembukaan Jepang ke dunia Barat, pakaian Barat mulai diperkenalkan dan dipromosikan sebagai simbol modernitas. Kaisar dan pejabat pemerintah mulai mengenakan pakaian Barat, dan pada awal abad ke-20, pakaian Barat menjadi umum di perkotaan, terutama di kalangan pria. Kimono, yang dulunya adalah pakaian sehari-hari, mulai kehilangan dominasinya.

Namun, kimono tidak sepenuhnya menghilang. Sebaliknya, ia bertransformasi menjadi pakaian untuk acara-acara khusus. Pada periode Taishō (1912-1926) dan awal Shōwa (1926-1989), kimono masih dikenakan oleh wanita sebagai pakaian sehari-hari, terutama di pedesaan, tetapi secara bertahap lebih banyak digunakan untuk upacara, festival, dan acara formal seperti pernikahan dan wisuda. Bahan-bahan baru seperti rayon dan sintetis mulai digunakan, membuat kimono lebih terjangkau.

Pasca Perang Dunia II, penggunaan kimono sebagai pakaian sehari-hari hampir tidak ada. Kimono kini menjadi busana seremonial dan warisan budaya yang dijaga dengan cermat. Ada upaya kuat untuk melestarikan keahlian tradisional yang terkait dengan pembuatan kimono, mulai dari penenunan sutra hingga teknik pewarnaan yang rumit. Kimono juga telah menginspirasi desainer mode global, menunjukkan daya tarik abadi dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan tren modern sambil tetap mempertahankan identitasnya yang kaya sejarah.

4. Ciri Khas Desain dan Konstruksi Kimono

Konstruksi kimono sangat unik dan merefleksikan filosofi kesederhanaan dan efisiensi. Kimono tradisional dibuat dari delapan panel kain persegi panjang lurus yang dijahit bersama, menghasilkan bentuk T yang khas. Desain ini meminimalkan limbah kain dan memungkinkan kimono untuk disesuaikan dengan berbagai bentuk tubuh tanpa memerlukan banyak jahitan melengkung atau potongan yang rumit.

Berikut adalah beberapa bagian utama dari kimono:

Bagian Kimono Deskripsi Fungsi Utama
Mi Bagian badan utama, terdiri dari dua panel besar yang dijahit di belakang. Menutupi tubuh, memberikan siluet utama.
Sode Lengan kimono, ukurannya bervariasi tergantung jenis kimono dan formalitas. Menutupi lengan, memiliki kantung terbuka di bagian bawah.
Eri Kerah kimono, selalu dilipat dan disilangkan di bagian depan. Memberikan struktur pada leher, menonjolkan bagian dada.
Okumi Panel tambahan yang dijahit dari kerah ke bagian bawah kimono di bagian depan. Memastikan kimono tertutup rapat dan memberikan bentuk yang anggun.
Suso Bagian bawah (hem) kimono. Memberikan bobot dan jatuhnya kain yang elegan.
Obi Sabuk lebar yang diikatkan di pinggang. Mengencangkan kimono, elemen dekoratif utama.

Ketiadaan kancing, ritsleting, atau pengait modern pada kimono menekankan pentingnya obi sebagai elemen fungsional dan estetika utama. Cara memakai kimono, termasuk melipat kerah kiri di atas kanan (kecuali untuk pemakaman), adalah bagian integral dari tradisi dan etiket.

5. Tekstil, Pewarnaan, dan Pola dalam Kimono

Kualitas dan jenis kain yang digunakan untuk kimono sangat bervariasi, tergantung pada tujuan dan formalitasnya. Sutra adalah bahan paling tradisional dan dihormati, digunakan untuk kimono formal karena kilau, kelembutan, dan kemampuannya menahan pewarna dengan indah. Untuk kimono yang lebih kasual, katun, rami, atau bahkan wol sering digunakan. Dalam era modern, poliester juga populer untuk kepraktisan dan biaya yang lebih rendah.

Teknik pewarnaan dan dekorasi kimono adalah bentuk seni tersendiri di Jepang. Beberapa teknik terkenal meliputi:

Teknik Pewarnaan Deskripsi Singkat Karakteristik
Yūzen Teknik pewarnaan tangan yang kompleks menggunakan pasta beras sebagai resist. Pola detail yang rumit, warna cerah, sering menggambarkan pemandangan alam.
Shibori Teknik resist dyeing yang melibatkan pengikatan, pelipatan, atau penjahitan kain sebelum dicelup. Pola unik dan organik dengan tekstur berkerut atau efek "tie-dye".
Kasuri Teknik pewarnaan benang di mana benang ditenun setelah dicelup, menciptakan pola samar. Pola bergaris atau geometris dengan tepi yang agak kabur, mirip ikat Indonesia.
Komon Pola berulang kecil yang diaplikasikan pada seluruh permukaan kain. Pola yang seragam, digunakan untuk kimono sehari-hari atau semi-formal.
Tsukesage Pola yang dirancang untuk mengalir ke atas di bahu dan bawah rok, tetapi tidak bersambung di jahitan. Kurang formal dari Homongi, pola yang lebih kasual namun tetap elegan.

Pola (gara) pada kimono juga memiliki makna simbolis yang mendalam dan sering kali dipilih berdasarkan musim, usia pemakai, atau acara. Motif bunga seperti sakura (musim semi), krisan (musim gugur), atau bambu (simbol ketahanan) adalah umum. Simbol keberuntungan seperti bangau (umur panjang), pinus (kekuatan), atau ombak (ketahanan) juga sering ditemukan.

6. Jenis-jenis Kimono Berdasarkan Penggunaan

Keragaman jenis kimono adalah salah satu ciri khas yang paling menarik, menunjukkan bagaimana pakaian ini telah disesuaikan dengan setiap aspek kehidupan dan hierarki sosial Jepang. Setiap jenis memiliki aturan ketat mengenai bahan, pola, panjang lengan, dan cara pemakaiannya.

Berikut adalah perbandingan beberapa jenis kimono yang paling umum:

Jenis Kimono Pemakai Utama Formalitas Panjang Lengan Keterangan
Furisode Wanita lajang Sangat Formal Sangat Panjang Paling formal untuk wanita lajang, digunakan untuk pesta kedewasaan, pernikahan.
Tomesode Wanita menikah Sangat Formal Pendek Paling formal untuk wanita menikah, biasanya dengan dasar hitam atau berwarna.
Uchikake Pengantin Wanita Sangat Formal Sangat Panjang Jubah brokat yang dikenakan di atas kimono lain, tidak diikat dengan obi.
Homongi Pria dan Wanita Formal Bervariasi "Pakaian kunjungan", pola yang mengalir di seluruh kimono, cocok untuk pesta.
Tsukesage Wanita Semi-Formal Bervariasi Mirip Homongi tapi dengan pola yang lebih kecil dan tidak terlalu menyambung.
Komon Pria dan Wanita Kasual Pendek Pola berulang kecil di seluruh kain, untuk sehari-hari atau acara santai.
Yukata Pria dan Wanita Sangat Kasual Pendek Kimono katun ringan untuk musim panas, festival, atau sebagai pakaian tidur.
Mofuku Pria dan Wanita Formal Pendek Kimono hitam polos untuk pemakaman, tanpa pola atau dekorasi.

Pembagian jenis kimono ini mencerminkan struktur sosial Jepang yang sangat teratur dan pentingnya etiket dalam setiap aspek kehidupan.

Kimono, dengan segala kerumitan sejarah dan karakteristiknya, adalah lebih dari sekadar pakaian nasional Jepang; ia adalah sebuah narasi yang ditenun dengan benang-benang waktu, seni, dan identitas. Dari adaptasi sederhana jubah Tiongkok hingga menjadi sebuah kanvas bagi seni pewarnaan dan tenun yang tak tertandingi, kimono telah melewati berbagai era, mencerminkan perubahan sosial, selera estetika, dan inovasi teknologi. Meskipun modernisasi telah menggesernya dari penggunaan sehari-hari, kimono tetap teguh sebagai simbol keanggunan, warisan, dan keindahan abadi Jepang. Keberadaannya saat ini, baik sebagai busana upacara, objek seni, maupun inspirasi mode global, menegaskan bahwa kimono adalah tradisi yang hidup dan terus berevolusi, mempertahankan pesonanya lintas generasi.

What you can read next

Panduan Lengkap Membuat Obi Kimono Tradisional Jepang
DIY Kimono Jepang: Buat Sendiri Jubah Tradisionalmu
Panduan Lengkap Membeli Cheongsam Jahit Perdana

Support

  • My Account
  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Refund & Return Policy
  • Shipping Policy

Knowledge

  • Cheongsam Buying Guide
  • Evolution of Cheongsamology
  • Structure of Cheongsam
  • Cheongsam on the Silver Screen
  • Cheongsam vs. Hanfu

Get in Touch

Email: [email protected]

SMS: +1 (413)4387891

  • GET SOCIAL

© 2025 Cheongsamology. All Rights Reserved.

TOP